“Lewat Djam Malam” Sebuah Simbol Revolusi


Film Lewat Djam Malam (LDM) bukan film baru, film buatan tahun 1954 yang kemudian berhasil direstorasi oleh dua donatur asing yaitu World Cinema Foundation dan National Museum of Singapore. Film ini mendadak ramai dibicarakan publik penikmat film karena nampaknya baru pertama kali ini ada film Indonesia produksi lama yang sudah usang kemudian direstorasi dengan teknologi canggih menjadi film yang bersih dan layak tayang di layar bioskop moderen. Sebuah revolusi baru sinema Indonesia.

Bagi dunia perfilman Indonesia saat ini, nampaknya LDM memang agak sulit untuk mampu menyelinap diantara film-film “kacangan” yang masih menjual hantu dan erotisme. Jangankan LDM, film-film berkualitas besutan para sineas muda pun masih banyak yang bersusah payah mendapat tempat antrian tayang di gedung-gedung bioskop.

Padahal LDM, sebagai sebuah film buatan tahun 1954, alur ceritanya ternyata masih sangat berkaitan dengan suasana kehidupan masyarakat saat ini. Bercerita tentang sulitnya beradaptasi atas sebuah perubahan yang mendadak (revolusioner). Kisah seorang pejuang yang baru saja kembali dari kemiliteran ke masyarakat, namun mendapat kesulitan menghadapi kenyataan perbedaan cara pandang. Sebagai pejuang, Iskandar (tokoh utama) musti berhadapan dengan kenyataan bahwa masyarakat lebih sibuk menyikapi kemerdekaan dengan cara pesta dan dansa-dansi. Masyarakat sudah melihat hasil kemerdekaan itu adalah semangat mencari uang dan kekayaan. Di sisi lain, cara meraih kekayaannya pun nyaris serabutan dan hantam keromong. Terlebih saat Iskandar tahu bahwa mantan komandannya pun ikut sibuk menumpuk kekayaan dengan cara-cara menjual patriotisme dan nasionalisme.

"Lewat Djam Malam": Sejarah Kegelisahan Bekas Pejuang

“Dalam perjuangan aku biasa tidur di tanah saja. Paling-paling hanya tidur di bangku saja. Kini aku tidur di kasur yang putih bersih.” – Iskandar, Lewat Djam Malam

Banyak yang bisa dibicarakan seusai menonton hasil restorasi Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail. Kita bisa membicarakan lika-liku restorasi film hitam putih produksi bersama Perfini dan Persari pada tahun 1954 ini, mulai dari kontak Phillip Cheah dari National Museum of Singapore dengan Lisabona Rahman mewakili Kineforum, gegap gempita penayangan perdananya di Cannes Film Festival, hingga menagih “janji” pemerintah untuk mendukung proyek restorasi berikutnya.

Begitu juga memperbincangkan pentingnya film ini sebagai upaya menemukan kembali jati diri film Indonesia seperti kerap disuarakan oleh JB Kristanto, orang yang kali pertama mengusulkan restorasi film ini. Belum lagi apabila kita membicarakan aspek filmis, seperti penyutradaraan Usmar Ismail yang dipengaruhi oleh Neorealisme Italia dan penulisan naskah modern yang diusung Asrul Sani. Film ini memang sungguh multi-aspek.

Kajian atas Lewat Djam Malam dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang. Lewat Djam Malam juga menarik dilihat sebagai dokumen sejarah, terutama apabila dilihat dari titik berdiri kita sekarang. Upaya restorasi yang dilakukan ternyata tidak hanya menjaga warisan budaya visual kita, tetapi lebih dari itu. Ini adalah upaya pelestarian ingatan sejarah, sesuatu yang diangan-angankan Usmar Ismail agar film ini menjadi sumber pengetahuan agar kita mampu menghargai bekas pejuang.

"Lewat Djam Malam": Lewat Sini Menoleh Sejarah untuk Maju ke Depan


Ramai kita dengar Lewat Djam Malam telah selesai direstorasi. Ini adalah kali pertama sebuah film Indonesia mendapat perlakuan istimewa. Tapi apa makna restorasi untuk seorang penggemar film?

Saya cinta film. Lebih spesifik lagi, saya cinta film tua. Definisi film tua di sini adalah film yang diproduksi sebelum tahun 1970, ketika film belum berwarna (masih hitam putih). Menonton DVD film tua membuat saya bisa duduk tenang atau tiduran menyaksikan polah laku orang-orang yang hidup dalam periode sebelum saya lahir. Saya biasa menonton film dengan latar belakang berbagai negara, mulai dari film yang diproduksi oleh studio Hollywood sampai produksi negara kurang populer macam Senegal, Mali atau Suriah. Kualitasnya pun beragam, mulai dari film yang tidak nyaman untuk ditonton mata seperti film eksperimental karya Jack Smith berjudul Flaming Creatures (1963) sampai yang terlihat jernih karena telah direstorasi oleh produsen DVD seperti Criterion.

Setelah direstorasi, film tampak seperti baru saja dirilis. Banyak detil, seperti mimik dan gerak karakter figuran, atau benda mati, menjadi semakin jelas sehingga menambah kenyamanan serta konsentrasi saat menonton. Audio pun ikut direstorasi sehingga kejernihan suara dialog dan suasana dapat membangun atmosfer film.

Penghargaan


Festival Film Indonesia 1955

  • Pemenang pada Festival Film Indonesia Indonesia, Kategori: Pemeran Utama Wanita Terbaik, Penghargaan: FFI 1955, Penerima: Dahlia.
  • Pemenang pada Festival Film Indonesia, Kategori: Pemeran Utama Pria Terbaik, Penghargaan: Penghargaan FFI 1955, Penerima: A.N. Alcaff.
  • Pemenang pada Festival Film Indonesia, Kategori: Pemeran Pembantu Pria Terbaik, Penghargaan: Penghargaan FFI 1955, Penerima: Bambang Hermanto.



Kutipan Favorit

"Kalau mau jujur, jangan hidup di sini… Kembali saja ke hutan atau ke gunung.” 
– Gunawan, Lewat Djam Malam




"Apa guna merdeka selagi periuk kita masih tergantung pada bangsa lain?” 
– Gunawan, Lewat Djam Malam




“Dalam perjuangan aku biasa tidur di tanah saja. Paling-paling hanya tidur di bangku saja. Kini aku tidur di kasur yang putih bersih.”
– Iskandar, Lewat Djam Malam


“Semua kita mengira, bakal ini, bakal itu, punya angan-angan. Apa beda kita dengan Laila?”
– Iskandar, Lewat Djam Malam


“Orang seperti kita ini hanya dianggap sampah! Habis manis, sepah dibuang!”
– Puja, Lewat Djam Malam



“Aku tahu aku tidak akan menang. Tapi kalau aku beli (lotere) ada saja yang aku tunggu.”
– Puja, Lewat Djam Malam


“Lupakan yang sudah lampau. Siapa yang tidak kuat melawan kelampauan akan hancur.
– Gafar, Lewat Djam Malam





“Ah biasa, laki-laki kalau sudah keluar rumah, siapa yang tahu kapan kembalinya?
– Laila, Lewat Djam Malam

“Oh kapan... kau datang, kekasih sayang. Nasibku yang malang, airmata berlinang dirundung malang. Kapan kau datang, oh sayang
– Laila, Lewat Djam Malam

"Tadi ada wanita mencari bung, cantik.. aku mau menjadi seperti dia bung" 

– Laila, Lewat Djam Malam

Mempertimbangkan "Lewat Djam Malam"

“Kembali saja ke hutan atau ke gunung,” lanjut Gunawan ketika mengetahui Iskandar menolak tawaran kerjanya. Iskandar baru saja kembali dari tentara. Tempat di mana dia bisa mengabdi kepada negara, sekaligus meluapkan idealismenya yang tinggi. Gunawan, yang dahulunya adalah pimpinan Iskandar di tentara, kembali menyuruh-nyuruhnya seakan-akan Iskandar memang hanya berharga sebesar orang suruhan.


Lewat Djam Malam memang bukan film paling menghibur yang ada di bioskop tahun ini, tapi bisa saya pastikan, bahwa ini akan menjadi film paling beda di antara yang lainnya. Bahkan ketika ada film ajaib seperti “Mr Bean Kesurupan Depe” bersanding di studio sebelahnya. Wajar, Lewat Djam Malam memang bukan film produksi zaman kita.

Dibuat pada tahun 1954, Lewat Djam Malam adalah proyek ambisius Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik untuk membuktikan, bahwa Indonesia yang baru merdeka, bisa membuat film berkualitas. Awalnya, film ini akan dikirimkan ke Festival Film Asia, namun akhirnya batal dan berakhir merajai Festival Film Indonesia 1955. Karena buruknya perlakuan pemerintah terhadap film-film lama, Lewat Djam Malam pun terkena imbasnya. Seiring dengan waktu, film ini mengalami cacat fisik di mana-mana. Bantuan justru datang dari Singapur, yang menawarkan restorasi film ini. Meskipun hasilnya tidak sempurna, namun sudah layak tonton. Tetap saja, setelah semua yang dilewati, kasus ini makin memperlihatkan buruknya perhatian pemerintah pada kebudayaannya.

Lewat Djam Malam berputar pada Iskandar, yang seperti sudah saya katakan, baru saja keluar dari tentara. Masih terbawa jiwa pejuangnya, Iskandar menyadari bahwa dia belum terbiasa dengan dunia “baru”nya. Diperlihatkan sepanjang film, Iskandar menemui satu-persatu teman lamanya, ditawari pekerjaan, hanya untuk memperjelas ketidakcocokannya dengan dunia. Belum lagi, ternyata selama di tentara, Iskandar memiliki beban yang belum bisa dilepas. Rasa bersalah yang tidak kunjung hilang dari hasil perang. Bersamaan dengan semuanya, Iskandar mencari kejujuran, dan pertemuannya dengan kebohongan dan kelicikan membuatnya dirinya makin bingung.


Perang, Manusia, dan Kemanusiaan

Saat itu tahun 1954. Ketika semangat revolusi masih bergemuruh di mana-mana, ketika dendam atas penjajahan masih membara, ketika luka dan kemarahan akibat agresi militer Belanda masih terasa.

Cinta tanah air dan nasionalisme menjadi paham yang dominan pada masa itu. Penjajah adalah musuh. Tanah air harus kita bela. Korbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan. Perang adalah demi mempertahankan kedaulatan negara. Propaganda-propaganda nasionalisme hadir dalam berbagai bentuk: pidato pemimpin, surat kabar, buku, hingga karya seni. Kemerdekaan sebagai bangsa dan kedaulatan wilayah menjadi tujuan utama yang dibenarkan oleh nilai-nilai dan moral.

Dalam suasana seperti ini, sutradara Usmar Ismail dan penulis Asrul Sani menghadirkan film Lewat Djam Malam. Sebuah film yang melawan paham-paham yang dominan pada masa itu. Sebuah film yang tak lagi menempatkan perang atas nama nasionalisme sebagai tujuan luhur. Sebaliknya, Lewat Djam Malam justru mempertanyakan bahkan menertawakan kenaifan manusia yang berperang atas nama bangsa dan negara. 

Tidak akan terlalu istimewa jika film dengan ide seperti itu hadir pada masa-masa sekarang ini. Tapi Lewat Djam Malam lahir jauh sebelum ide-ide anti perang menyebar luas. Film ini lahir ketika kolonialisme masih terjadi di banyak negara Asia dan Afrika, ketika Konferensi Asia Afrika masih dalam tahap persiapan kemudian dilaksanakan di Bandung tahun 1955 untuk menyuarakan penghapusan kolonialisme. Bahkan, dua puluh tahun kemudian, Amerika Serikat masih terlibat dalam perang Vietnam. Pada periode saat dan pasca perang Vietnam inilah kemudian di Amerika secara luas timbul perlawanan pada perang. Semangat anti perang hadir dalam buku, musik, dan tentu saja film.



Terbitnya Buku dan Video "Lewat Djam Malam Diselamatkan"


Bersamaan dengan peluncuran hasil restorasi film Lewat Djam Malam 18 Juni 2012 kemarin, terbit pula buku Lewat Djam Malam Diselamatkan, sebagai referensi perihal karya Usmar Ismail tahun 1954 tersebut serta proses restorasinya. Buku ini kini tersedia online dan bisa diunduh gratis.
Buku Lewat Djam Malam Diselamatkan terdiri dari tiga bagian. Bagian pertamamerinci kenapa restorasi film ini harus dilakukan dan bagaimana proyek ini dieksekusi melalui kerja sama berbagai institusi lintas negara. Bagian kedua bicara tentang film Lewat Djam Malam itu sendiri. Ada satu tulisan yang menjelaskan posisi Usmar Ismail dalam perfilman Indonesia, wawancara Misbach Jusa Biran tentang film Lewat Djam Malam dan proses penciptaannya, serta resensi dari dua penonton generasi sekarang. Bagian ketiga menjelaskan tentang kondisi film di arsip Sinematek sekarang dan bagaimana publik bisa terlibat membantu Sinematek ke depannya melalui program Sahabat Sinematek.
Selain buku, publik juga bisa mengakses video singkat yang membandingkan kualitas gambar Lewat Djam Malam sebelum dan sesudah direstorasi.

"Lewat Djam Malam": Sebuah Jejak Sejarah


Saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah terlibat dalam upaya menyelamatkan film ini. Mereka antara lain National Museum of Singapore,  Martin Scorcese yang lewat World Cinema Foundation telah menanggung separuh biaya restorasi ini, Yayasan Konfiden, Sinematek, Kineforum, dan lain-lain  yang telah bekerja keras membuat film ini menjadi “utuh” dan bisa kita nikmati kembali mulai 21 Juni 2012 di beberapa bioskop tanah air.

Saya sempat terharu karena akhirnya berkesempatan menyaksikan film karya Usmar Ismail hasil restorasi ini. Gambarnya yang semula suram, penuh bercak dan “hujan” kini menjadi terang dan bersih. Ya, masih ada sih sedikit “gerimis” di beberapa bagian, tetapi itu sudah jauuuuuh lebih baik daripada sebelum direstorasi.  Suaranya juga menjadi jelas, tidak ada lagi bunyi “kresek kresek”. Oh, seandainya Usmar Ismail atau Asrul Sani masih hidup, mereka pasti akan sesenggukan menyaksikan karya mereka “hidup” kembali.

Saya tidak akan menceritakan sinopsisnya, karena itu bisa dengan mudah kautemukan di internet. Saya lebih suka ngobrolin bahwa film ini adalah semacam arsip sejarah Indonesia tahun 1950-an. Di film ini kita menyaksikan Bandung tempo doeloe dengan Jalan Braga dan Gedung Sate yang terkenal itu. Juga kehidupan masyarakat kita, khususnya golongan menengah atas, yang gemar berpesta layaknya orang Belanda. Lengkap dengan dansa-dansi ala Eropa diselingi lagu “Rasa Sayange” yang menjadi semacam acara berbalas pantun di antara muda-mudinya.

"Lewat Djam Malam": Merdeka Hanya Ilusi Sesaat

Kembali dari medan perang setelah memperjuangkan kemerdekaan tidak semudah mengucapkan ‘Proklamasi’. Itulah yang dirasakan Iskandar (AN Alcaff), mantan pejuang yang kembali ke Bandung. Ia lalu menginap di rumah keluarga tunangannya, Norma (Netty Herawati).

Calon mertua yang bangga akan kedatangan pahlawan ini lalu mencoba menggunakan koneksinya di kantor Gubernur untuk Iskandar agar mendapatkan pekerjaan. Tapi Iskandar yang tampaknya masih dihantui akan masa silam tidak betah barang seharipun di tempat kerja barunya, ia keluar dan kemudian mengunjungi teman-teman seperjuangannya. Ternyata hanya kekecewaan yang ia dapatkan. Gafar (Awaludin) malah sibuk dengan proyek perumahannya sedangkan Gunawan (Rd Ismail) malah semakin pragmatis dan menggunakan statusnya sebagai mantan pejuang untuk kepentingan pribadinya. Sementara itu Puja (Bambang Hermanto) malah menjadi centeng rumah bordil yang gemar beli lotere. Di tempat itulah Iskandar berkenalan dengan Laila (Dhalia), pelacur kelas bawah yang naif dan penuh impian.

"Lewat Djam Malam": Pembatasan Belenggu Pertanyakan Kemerdekaan

Dari waktu ke waktu, industri perfilman Indonesia telah mengalami perkembangan demi perkembangan yang sangat menarik disimak perjalanannya. Salah satu koleksi terpilih untuk direstorasi adalah film garapan Usmar Ismail ini dimana National Museum of Singapore (NMS) bertindak sebagai pemrakarsa kerjasama yang turut melibatkan World Cinema Foundation, Sinematek Indonesia, Yayasan Konfiden dan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta. Prosesnya sendiri berlangsung selama lebih kurang 2000 jam dari tahun 2011 lalu hingga bulan Maret 2012 ini di lab L’Immagine Ritrovata - Bologna, Italia.

Adalah Iskandar, mantan pejuang yang kembali ke masyarakat dimana tatanan kehidupan yang ada ternyata sudah jauh berbeda dari bayangannya. Didukung penuh oleh tunangannya Norma untuk memulai hidup baru, Iskandar melamar pekerjaan yang jauh dari harapan. Akhirnya ia menyambangi kawan lamanya, Gafar si kontraktor handal dan Gunawan si pebisnis sukses yang juga menemui jalan buntu. Ditemani bekas anak buahnya Puja yang bertindak sebagai germo Laila, Iskandar mulai memerangi pergolakan batinnya sendiri sekaligus menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

"Lewat Djam Malam" Diselamatkan: Masih Mungkin Berharap ke Pemerintah?

Martin Scorsese, sutradara Goodfellas dan Hugo, memuji, "Lewat Djam Malam is revealing."Scorsese, dalam video pengantar pemutaran restorasi Lewat Djam Malam, bersikeras menyebut"Lewat Djam Malam" dan bukannya "After the Curfew", judul Inggris yang lebih mudah di lidahnya. Ia juga benar menyebutkan "Usmar Ismail", sebagai sutradara film itu, walau terpeleset menyebut "Arzil Sani" untuk Asrul Sani sebagai penulis skenario film tersebut. 

Video pengantar dari Scorsese itu diputar pada Senin malam, 18 Mei 2012, pukul 19.00 WIB, di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Jakarta, dalam acara bertajuk "Lewat Djam Malam: Diselamatkan". Lima puluh delapan tahun setelah film itu dibuat,Lewat Djam Malam selesai direstorasi (diperbaiki, disempurnakan kembali). Segera saja, hasil restorasi itu diputar gala dunia, di Festival Film Cannes 2012 pada 17 Mei 2012 lalu. Seperti diungkap Scorsese, yang juga pemrakarsa World Cinema Foundation, Lewat Djam Malam diakui sebagai warisan "sinema dunia".


"Lewat Djam Malam" Telah Rilis sejak 18 Juni 2012

Lembaga perfilman Sinematek Indonesia telah merilis kembali film klasik karya Usmar Ismail, "Lewat Djam Malam" pada 18 Juni 2012.

"Hasil restorasi dan digitalisasi film itu 90 persen mendekati aslinya," kata Direktur Utama Sinematek Indonesia, Berthy Ibrahim, dalam jumpa pers penyelamatan Film "Lewat Djam Malam" di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) Jakarta, Senin.

Rangkaian film yang diproduksi pada 1954 itu akan diputar di jaringan bioskop 21 Cineplex dan Blitzmegaplex di sejumlah kota di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya mulai 21 Juni.

Restorasi


Restorasi film artinya mengembalikan kondisi gambar dan suara sesuai aslinya.

Film "Lewat Djam Malam" ini diproduksi tahun 1954 dan dalam proses pemakaian dan penyimpanan selama hampir 60 tahun, film dalam kondisi rusak dan berjamur parah.

Masalah terbesar yang dihadapi saat restorasi adalah perforasi (lubang-lubang di pinggir pita seluloid) yang rusak, jamur di beberapa bagian pita seluloid, serta suara yang hilang di reel lima. Perforasi yang rusak ini menyebabkan kopi Lewat Djam Malam sulit dimasukkan ke dalam mesin pengindai, sehingga harus diperbaiki terlebih dahulu satu per satu. Proses reparasi ini menghabiskan sekitar 2000 jam untuk pengerjaannya. Sementara itu, sebagian besar jamur dapat diangkat tanpa harus mengorbankan kualitas gambar, dan suara yang hilang untungnya ditemukan di kopi lain Lewat Djam Malam yang ada di Sinematek.

Inilah hasil restorasi film "Lewat Djam Malam":





Kemerdekaan untuk Apa? Dan Siapa?


Akhirnya, film terbaik Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail, Lewat Djam Malam, selesai direstorasi di Italia dan bisa disaksikan oleh generasi baru penonton bioskop. Tentu ada yang istimewa sampai dua lembaga besar asing, National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation yang diketuai Martin Scorsese, antusias membiayai penyelamatan salah satu kekayaan budaya penting Indonesia yang disia-siakan di negerinya sendiri ini.
Film ini diproduksi lebih dari setengah abad lampau (1954), namun masih sangat berharga buat membaca ulang sosiologi kelahiran bangsa baru bernama “Indonesia” sekaligus prototip budaya (pop) serapan yang tumbuh dalam rahimnya: “film Indonesia.” Dua pokok yang belum tuntas dipersoalkan hingga kini. Dengan kata lain, film ini memiliki relevansi kebangsaan dan estetika yang tetap aktual.

Film "Lewat Djam Malam": Manusia Indonesia Pasca Revolusi

Mulai 21 Juni, karya Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail 'Lewat Djam Malam' (1954) yang telah direstorasi diputar di bioskop di Jakarta dan Bandung. Sebelumnya, film ini telah diputar di National Museum of Singapore, dan di sesi Cannes Classics di Festival Film Cannes, Prancis, Mei lalu.

Film ini menampilkan bintang yang terkenal saat itu, Bambang Hermanto sebagai salah satu pemeran pendukung. Adapun peran utama dipercayakan kepada aktor bernama AN Alcaff dan aktris bernama Netty Herawati. Pemeran pendukung lainnya adalah aktris bernama Dhalia yang menjadi pencuri perhatian di film ini.

Sinopsis


Mengisahkan seorang bekas pejuang, Iskandar (AN Alcaff) yang kembali ke masyarakat, dan coba menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah asing baginya. Pembunuhan terhadap seorang perempuan dan keluarganya atas perintah komandannya di masa perang terus menghantuinya. Tepat pada jam malam yang sedang diberlakukan, ia masuk rumah pacarnya, Norma (Netty Herawati). Itu awal film yang masa kejadiannya hanya dua hari.

Keesokannya ia dimasukkan kerja ke kantor gubernuran. Tidak betah dan malah cekcok. Dengan kawan lamanya, Gafar (Awaludin), yang sudah jadi pemborong, ia juga tak merasa cocok. Ia masih mencari kerja yang sesuai dengan dirinya. Bertemu dengan Gunawan (Rd. Ismail), ia semakin muak, melihat kekayaan dan cara-cara bisnisnya. Apalagi setelah tahu, bahwa Gunawan merampas harta perempuan yang ditembak Iskandar itu lalu dijadikan modal usahanya sekarang. Kemarahannya memuncak. Ia lari dari pesta yang diadakan pacarnya untuk dirinya dan pergi mencari Gunawan ditemani bekas anak buahnya (Bambang Hermanto), yang jadi centeng sebuah rumah bordil.

"Lewat Djam Malam" Bisa Ditonton 21 Juni

Setelah melalui proses restorasi selama 1,5 tahun di Italia, film Lewat Djam Malam karya sineas Usmar Ismail (1954) akhirnya bisa dinikmati publik di negeri sendiri. Mulai 21 Juni, film tersebut akan diputar di jaringan bioskop 21 Cineplex dan Blitzmegaplex di beberapa kota di Indonesia, seperti Makassar, Surabaya, Bandung, dan Jabodetabek.

Pemutaran film Lewat Djam Malam ini merupakan upaya para pencinta film untuk menarik minat publik terhadap pelestarian artefak film yang tersimpan di Pusat Informasi dan Dokumentasi Film (Sinematek) Indonesia. Alex Sihar dari Komite Film Dewan Kesenian Jakarta, yang juga Ketua Yayasan Konfiden, dalam jumpa pers di Pusat Perfilman H Usmar Ismail mengatakan, restorasi film Lewat Djam Malam diharapkan bisa membuka mata para pemangku kepentingan di Indonesia tentang pentingnya arsip film bagi kehidupan sejarah bangsa. Restorasi film Lewat Djam Malam ini dibiayai National Museum of Singapura (NMS) dan World Cinema Foundation yang didirikan sineas dunia Martin Scorsese. Sebelum diputar di Indonesia, film Lewat Djam Malam lebih dulu diputar di Festival Film Cannes, 17 Mei lalu. Film tersebut terpilih dalam kategori World Classic Cinema.