Dari waktu ke waktu, industri perfilman Indonesia telah mengalami perkembangan demi perkembangan yang sangat menarik disimak perjalanannya. Salah satu koleksi terpilih untuk direstorasi adalah film garapan Usmar Ismail ini dimana National Museum of Singapore (NMS) bertindak sebagai pemrakarsa kerjasama yang turut melibatkan World Cinema Foundation, Sinematek Indonesia, Yayasan Konfiden dan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta. Prosesnya sendiri berlangsung selama lebih kurang 2000 jam dari tahun 2011 lalu hingga bulan Maret 2012 ini di lab L’Immagine Ritrovata - Bologna, Italia.
Adalah Iskandar, mantan pejuang yang kembali ke masyarakat dimana tatanan kehidupan yang ada ternyata sudah jauh berbeda dari bayangannya. Didukung penuh oleh tunangannya Norma untuk memulai hidup baru, Iskandar melamar pekerjaan yang jauh dari harapan. Akhirnya ia menyambangi kawan lamanya, Gafar si kontraktor handal dan Gunawan si pebisnis sukses yang juga menemui jalan buntu. Ditemani bekas anak buahnya Puja yang bertindak sebagai germo Laila, Iskandar mulai memerangi pergolakan batinnya sendiri sekaligus menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Film yang didengungkan sebagai karya terbaik Usmar Ismail ini naskahnya digarap oleh Asrul Sani. Fokus cerita memang murni pada tokoh Iskandar yang digambarkan sulit lepas dari beban masa lalu. Situasi perang yang melibatkan pembunuhan ternyata terus menghantui sehingga ia tersesat dalam fase kehidupan berikut yang sesungguhnya telah menawarkan banyak hal padanya mulai dari tunangan yang pengertian, sahabat yang suportif serta tawaran pekerjaan yang memadai. AN Alcaff menokohkan Iskandar dengan penuh kegelisahan dan jiwa yang labil, tercermin dari spontanitas dan pengambilan keputusannya yang ceroboh itu.
Sutradara Usmar mampu menyiasati proses narasi yang penuh tarik ulur tersebut dengan dialog-dialog yang sepintas memang terdengar sederhana tapi cukup provokatif untuk mengundang reaksi baik tawa maupun terkejut, terutama kata-kata yang meluncur dari bibir Dhalia sebagai Laila yang naïf dan seduktif itu. Tak lupa kesenjangan sosial antar kasta juga ditampilkan melalui gaya pesta dan pemilihan busana yang jauh berbeda. Penempatan musik latar dan penata suara dari GRW Sinsu dan Bob Saltzman yang masih minim pada jamannya itu tergolong pas mengiringi setiap adegan.
Hasil restorasi film produksi Perfini dan Persari ini mengajak penonton untuk larut dalam nostalgia penuh makna. Sinematografi hitam putih yang otentik, proses editing yang masih kasar, departemen akting yang cenderung teatrikal dan banyak hal lainnya yang tidak akan anda temukan dalam sinema modern. Penggambaran jalan Braga yang penuh aktifitas, alun-alun (sekarang café) yang dipadati pengunjung serta tata artistik, rias dan kostum yang dijamin akan melambungkan imajinasi liar anda. Jangan lupakan adegan dansa yang inspiratif dengan iringan hit legendaris Rasa Sayange dan Potong Bebek Angsa itu.
Pemberlakuan "djam malam" sesungguhnya lebih merupakan analogi pembatasan kebebasan itu sendiri di tengah situasi kondisi bangsa yang dapat dikatakan sudah merdeka. Namun sIapa yang lebih diuntungkan? Pihak penguasa yang semakin menancapkan kukunya dari segi politik? Atau kaum borjuis yang semakin melebarkan sayapnya dari segi ekonomi? Benarkah perjuangan itu berujung pada kemenangan yang hakiki bagi semua lapisan masyarakat? Inilah yang harus dijawab oleh penonton masa kini sesuai relevansi proses sejarah panjang yang terjadi berpuluh-puluh tahun silam dari kacamata seorang Iskandar, satu dari sekian ribu pejuang tanah air yang pernah ada. Tidak hanya pengetahuan belaka tetapi juga refleksi historis yang layak menjadi.
WITRA ASLIGA
Dimuat atas seijin penulis.
Sumber: blog film Databasefilm
No comments:
Post a Comment