"Lewat Djam Malam": Lewat Sini Menoleh Sejarah untuk Maju ke Depan


Ramai kita dengar Lewat Djam Malam telah selesai direstorasi. Ini adalah kali pertama sebuah film Indonesia mendapat perlakuan istimewa. Tapi apa makna restorasi untuk seorang penggemar film?

Saya cinta film. Lebih spesifik lagi, saya cinta film tua. Definisi film tua di sini adalah film yang diproduksi sebelum tahun 1970, ketika film belum berwarna (masih hitam putih). Menonton DVD film tua membuat saya bisa duduk tenang atau tiduran menyaksikan polah laku orang-orang yang hidup dalam periode sebelum saya lahir. Saya biasa menonton film dengan latar belakang berbagai negara, mulai dari film yang diproduksi oleh studio Hollywood sampai produksi negara kurang populer macam Senegal, Mali atau Suriah. Kualitasnya pun beragam, mulai dari film yang tidak nyaman untuk ditonton mata seperti film eksperimental karya Jack Smith berjudul Flaming Creatures (1963) sampai yang terlihat jernih karena telah direstorasi oleh produsen DVD seperti Criterion.

Setelah direstorasi, film tampak seperti baru saja dirilis. Banyak detil, seperti mimik dan gerak karakter figuran, atau benda mati, menjadi semakin jelas sehingga menambah kenyamanan serta konsentrasi saat menonton. Audio pun ikut direstorasi sehingga kejernihan suara dialog dan suasana dapat membangun atmosfer film.


Walau Indonesia terbilang lebih belakangan memulai proses ini, namun usahanya harus didukung agar ada lagi film Indonesia yang mendapat kesempatan direstorasi seperti Lewat Djam Malam. Usmar Ismail sendiri menyutradarai sebanyak 28 film, dan jumlah tersebut akan bertambah menjadi 37 film jika ikut menghitung film yang dia produseri atau tulis skenarionya.

Baru tiga film Usmar Ismail yang pernah saya tonton. Pertama, Tiga Dara (1956), sebuah komedi romantis dengan bumbu tarian dan nyanyian yang tampaknya terinspirasi oleh film-film musikal Hollywood produksi MGM yang sedang booming masa itu. Kedua, Anak Perawan di Sarang Penyamun (1962), yang diangkat dari roman karangan Sutan Takdir Alisjahbana. Visualisasi karakternya sangat dipengaruhi oleh film Akira Kurosawa semacam Seven Samurai (1956), walau menurut saya filmnya “kuno” dengan pemaksaannya untuk menjejali penonton dengan pesan moral dan agamis. Yang ketiga adalah Lewat Djam Malam (1954).

Lewat Djam Malam dibuka dengan shot derap kaki melangkah pelan tapi pasti, diiringi musik yang membangkitkan atmosfer mencekam seperti film-noir Hollywood tahun '40-an. Ternyata itu langkah kaki Iskandar yang sedang menuju tempat tinggal keluarga tunangannya yang bernama Norma. Iskandar adalah bekas tentara yang biasa perang gerilya dan sekarang sedang mencari dimana tempatnya kini di tengah kehidupan setelah perang. Mimpi Iskandar sederhana, mendapat pekerjaan layak sehingga bisa memberi nafkah jika nantinya mengawini Norma. Medan perang Iskandar yang sekarang adalah kota Bandung, dan musuhnya kini untuk menemukan apa yang bisa dia bisa dan mau kerjakan.

Dunia yang dimasuki Iskandar sekarang adalah dunia yang definisi suksesnya dilihat dari segi materi. Tak terkecuali kawan lamanya Gafar yang sekarang sudah menjadi pemborong rumah, dan bekas komandannya Gunawan, yang sekarang adalah pedagang besar dan berniat meraih supremasi pedagang lokal dari pedagang asing. Keluarga kekasihnya pun, Norma, berasal dari strata ekonomi menengah ke atas. Di tandai oleh gaunnya yang berpotongan model terbaru yang kita lihat di film-film Hollywood saat itu. Pesta adalah cara yang Norma paham untuk menyambut pulangnya kekasih tercinta. Walau momen berdansa ramai-ramai dengan gerakan serentak terbayang seperti prajurit perang di bawah komando pimpinan di benak Iskandar. Seketika Bandung, Gafar, Gunawan, dan Norma tak lebih dari sekedar ruang dan sosok yang klaustrofobis, asing, dan tidak lagi berbicara dengan “bahasa” yang sama dengan Iskandar. Sehingga Iskandar mencari “kesunyian” di tempat sahabatnya selama di medan perang, Puja. Di tempat Puja itulah Iskandar bertemu Laila, wanita tuna susila yang lari dari suaminya yang suka main tangan.

Hubungan Iskandar dan Laila adalah hubungan platonis. Kunjungan Iskandar yang makin sering ke rumah Puja mengesankan kalau dia menikmati adanya sosok Laila di sana. Penampilan Laila yang tanpa tedeng aling-aling, nyaman dengan semburat seksualitas lewat gerak-gerik dan penampilannya dalam busana tradisional. Bertolak belakang dengan Norma yang lebih konservatif walau berpakaian ala wanita Barat. Dan dalam diri Laila, Iskandar menemukan suatu bagian penting yang tidak dia temukan dalam diri Norma, yaitu kerapuhan dan ketidakberdayaan seorang wanita yang bisa ia lindungi. Menuntut tapi tak harus dikabulkan, dan lemah tapi tak harus diselamatkan. Ego akan rasa menang yang ingin Iskandar rasakan kembali seperti di medan perang dulu.

Melihat tema, gaya, dan motif visual film Lewat Djam Malam, jelas Usmar Ismail adalah sutradara yang kaya referensi. Mungkin juga penggemar film. Tema prajurit pulang dari perang buatan Hollywood seperti All Quiet on the Western Front (Lewis Milestones, 1930), Broken Lullaby aka The Man I Killed (Ernst Lubitsch, 1931) serta The Best Years of Our Lives (William Wyler, 1946) bisa jadi adalah referensi Usmar Ismail. Layaknya ketiga film tersebut, problematika prajurit yang harus kembali beradaptasi di tengah masyarakat sipil, beserta kebiasaan dan kenangan masa perang yang masih melekat, dihamparkan dalam Lewat Djam Malam.

Duet sutradara Usmar Ismail dan penulis skenario Asrul Sani, seperti ingin terbang anggun bak kupu-kupu lalu menyengat bagaikan lebah kepada negara, sipil, dan perang itu sendiri. Iskandar menjadi karakter yang anti-hero karena perilakunya yang keras, dan juga karena orang-orang yang ada di sekitar dia tidak menganggap tinggi seorang veteran perang seperti dirinya.

Apa yang membuat Lewat Djam Malam terasa modern atau dengan kata lain relevan sampai sekarang adalah karena pendekatan Usmar Ismail yang terasa personal. Mungkin ada hubungan dengan masa lalunya yang pernah aktif di TNI dengan pangkat terakhir sebagai Mayor di tahun '40an. Problem yang diangkat lebih ke hubungan antar-manusia dengan latar belakang perubahan sosial-politik akibat perang. Inisiatif yang mendasari pengembangan karakter-karakternya pun adalah etika – sebuah cara mengkomunikasikan bahwa manusialah yang penting dan peranglah yang membuat mereka kehilangan suara, muka dan juga hati.

Lewat Djam Malam tidak membius saya lewat mantera kata dan gambaran “bahagia” di dalamnya. Judulnya sendiri merupakan gema dari suasana mencekam Bandung pasca-perang dimana akan selalu ada batasan di negara yang telah merdeka sekalipun. Setiap bait dalam lagu “Rasa Sayange” yang dinyanyikan dalam pesta Norma kembali ke diri Iskandar untuk bertanya, kepada siapa rasa sayang itu harus didahulukan. Kepada negara, orang-orang di sekelilingnya, atau cukup untuk dirinya sendiri saja?

Setiap deskripsi sederhana terhadap Lewat Djam Malam membuat film ini terdengar tragis dan penuh kesedihan. Tapi semangat dari cerita-cerita di dalamnya, serta bagaimana Usmar Ismail menggunakan kameranya untuk mengungkap kenyataan yang terlihat maupun kasat mata, menahbiskan Lewat Djam Malam sebagai film yang inspiratif dan tak lekang dimakan waktu.

YUKI ADITYA

No comments:

Post a Comment