"Lewat Djam Malam": Sejarah Kegelisahan Bekas Pejuang

“Dalam perjuangan aku biasa tidur di tanah saja. Paling-paling hanya tidur di bangku saja. Kini aku tidur di kasur yang putih bersih.” – Iskandar, Lewat Djam Malam

Banyak yang bisa dibicarakan seusai menonton hasil restorasi Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail. Kita bisa membicarakan lika-liku restorasi film hitam putih produksi bersama Perfini dan Persari pada tahun 1954 ini, mulai dari kontak Phillip Cheah dari National Museum of Singapore dengan Lisabona Rahman mewakili Kineforum, gegap gempita penayangan perdananya di Cannes Film Festival, hingga menagih “janji” pemerintah untuk mendukung proyek restorasi berikutnya.

Begitu juga memperbincangkan pentingnya film ini sebagai upaya menemukan kembali jati diri film Indonesia seperti kerap disuarakan oleh JB Kristanto, orang yang kali pertama mengusulkan restorasi film ini. Belum lagi apabila kita membicarakan aspek filmis, seperti penyutradaraan Usmar Ismail yang dipengaruhi oleh Neorealisme Italia dan penulisan naskah modern yang diusung Asrul Sani. Film ini memang sungguh multi-aspek.

Kajian atas Lewat Djam Malam dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang. Lewat Djam Malam juga menarik dilihat sebagai dokumen sejarah, terutama apabila dilihat dari titik berdiri kita sekarang. Upaya restorasi yang dilakukan ternyata tidak hanya menjaga warisan budaya visual kita, tetapi lebih dari itu. Ini adalah upaya pelestarian ingatan sejarah, sesuatu yang diangan-angankan Usmar Ismail agar film ini menjadi sumber pengetahuan agar kita mampu menghargai bekas pejuang.



Melalui Lewat Djam Malam, Usmar Ismail bercerita tentang Iskandar (diperankan AN Alcaf), seorang pemuda pemberani yang ”baru kembali dari gunung” untuk menjalani “kehidupan normal” di Bandung. Setelah menyimak isi pembicaraannya dengan Halim, seorang perwira militer di Siliwangi, kuat dugaan Iskandar sebelumnya bertempur selama lima tahun di daerah Pangalengan, Bandung Selatan. Angan-angannya sederhana. Iskandar ingin hidup damai pasca perang. Ia ingin bisa menikmati kembali “tidur di kasur yang putih bersih”. Saat Norma menjumpainya di taman, Iskandar menyatakan keinginannya untuk beternak ayam dan sapi. Hewan-hewan itu yang selalu menemani hari-harinya selama di gunung. Namun nasib berkata lain. Angan-angannya musnah dan hidup Iskandar berhenti di ujung bedil tentara akibat melanggar jam malam.

Mengapa Usmar Ismail berkepentingan mengangkat kisah bekas pejuang? Pada periode tahun 1950an muncul masalah utama yang harus dihadapi republik Indonesia yang masih muda, yakni menata kehidupan sosial. Perjuangan fisik sudah selesai, gantinya adalah perjuangan ekonomi. Maka saat bekas pejuang kembali ke masyarakat, semua menghadapi kegamangan. Mereka harus menyambung hidup yang terpotong itu. Frustasi merebak di hati para bekas pejuang itu. Ada semacam kegelisahan dan keresahan. Tambahan lagi pada Oktober 1952, kegelisahan bekas pejuang makin menjadi saat dua pemimpin tertinggi tentara, AH Nasution dan TB Simatupang, melakukan penataan ulang militer. Hanya para prajurit yang berlatar belakang pendidikan kemiliteran Belanda (KNIL) yang akan diperhitungkan. Lainnya, mulai dari prajurit eks PETA hingga relawan, tidak dipakai lagi. Masalahnya, apa pekerjaan yang dapat dilakukan oleh bekas pejuang apabila kemampuannya hanya “menggempur dan menggasak”? Karena seperti ucapan Puja (diperankan oleh Bambang Hermanto) kepada Iskandar, “Orang seperti kita ini hanya dianggap sampah!”

Iskandar digambarkan tidak bisa bekerja di kantor gubernur. Ia juga menolak tawaran menjadi tukang ancam dari Gunawan. Puja yang menjadi centeng dan selalu hidup menadah mimpi menang lotere adalah pembuktian ucapannya sendiri akan perlakuan pada bekas pejuang itu. Nyatanya, hidup para bekas pejuang tak ubahnya seperti Iskandar, Gunawan, Puja, Gafar di Lewat Djam Malam, atau malah bisa jadi lebih buruk lagi, menjadi kriminal dengan modal senjata yang mereka miliki dan kemampuan untuk membunuh.

Hal ini bukan omong kosong. Kota Bandung yang dipakai sebagai latar cerita Lewat Djam Malam adalah kota yang rawan pada tahun 1950an. Dikatakan rawan karena daerah Jawa Barat masih dikuasai oleh Darul Islam, dan di dalam serta sekitar kota Bandung sendiri tingkat kriminalitas demikian tinggi. Sebagaimana yang tercatat dalam koran Pikiran Rakjat 23 Agustus 1952, mengingat makin meningkatnya kerawanan di kota Bandung, Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata sampai-sampai menyampaikan, “Proses kemiskinan rakyat (Verarmings Proces) sebagai akibat gangguan keamanan terus menerus di Jawa Barat bergeser dari soal sosial (social problem) ke soal perang (oorlog problem). Persoalan jang ditimbulkan oleh gangguan-gangguan keamanan tidak cukup diselesaikan dengan bantuan-bantuan sosial saja, tetapi dengan tindakan-tindakan dan alat-alat kekuasaan negara.”

Dari pemberitaan koran setempat, selain Darul Islam, ada kelompok bersenjata lainnya melakukan serangkaian aktivitas yang lebih mengarah ke arah aksi kriminal daripada gerakan militer yang punya tujuan politik. Penyerebotan dan pencurian mobil menjadi kasus yang lazim terjadi di Bandung. Sejak Januari hingga Juni 1950 sebanyak 64 buah mobil dilaporkan hilang. Pihak keamanan pada pertengahan 1950 memburu para kriminal ini. Hasilnya, 17 pencuri mobil ditangkap di Bandung dan empat orang lainnya di Tasikmalaya. Selain dilakukan kepolisian, pihak militer juga turun tangan menangkap kawanan perampok. Di antaranya sebuah kelompok yang pernah menghadang truk penuh bahan pembuatan pakaian di daerah Cileunyi.

Harian Pikiran Rakjat, 19 Agustus 1950, menyebutkan dua di antara kawanan yang tertangkap itu adalah bekas pejuang berpangkat Letnan dan seorang lagi berpangkat Sersan. Itulah sebabnya, jam malam diberlakukan pada 27 Desember 1949 oleh Komando Militer Kota Bandung (KMKB) yang dikepalai oleh Letkol Sentot Iskandar Di Nata. Pilihan itu diambil karena yang harus dihadapi saat itu adalah para bekas pejuang yang tidak bisa beradaptasi dan memilih menjadi kriminal sebagai pekerjaan baru.

Melalui Lewat Djam Malam, Usmar Ismail menggambarkan situasi yang mendekati realita yang dihadapi masyarakat Bandung pada tahun 1950an, sekaligus persoalan bangsa yang harus diatasi segera. Sebagai bekas pejuang, Usmar Ismail mengangkat cerita bukan diarahkan untuk menghakimi para bekas pejuang ini, tetapi justru sebaliknya. Di akhir film, Usmar justru menyampaikan pernyataan pribadi yang menyatakan bagaimana seharusnya masyarakat menghargai para bekas pejuang, “Kepada mereka yang telah memberikan sebesar-besar pengorbanan nyawa mereka, supaya kita yang hidup pada saat ini dapat menikmati segala kelezatan buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri.”

Berjuang dengan jujur, bekerja tanpa pamrih, tidak menyusahkan rakyat, bekerja untuk kepentingan yang lebih besar daripada menguntungkan diri sendiri. Inilah serangkaian pesan yang dapat ditarik dari pengalaman hidup bekas-bekas pejuang tadi. Pesan-pesan ini masih berbunyi nyaring bahkan hingga ke masa kini, tinggal bagaimana kita menanggapinya.

DAMAR JUNIARTO

Dikutip atas seijin penulis.
Sumber: Cinema Poetica

No comments:

Post a Comment