“Lewat Djam Malam” Sebuah Simbol Revolusi


Film Lewat Djam Malam (LDM) bukan film baru, film buatan tahun 1954 yang kemudian berhasil direstorasi oleh dua donatur asing yaitu World Cinema Foundation dan National Museum of Singapore. Film ini mendadak ramai dibicarakan publik penikmat film karena nampaknya baru pertama kali ini ada film Indonesia produksi lama yang sudah usang kemudian direstorasi dengan teknologi canggih menjadi film yang bersih dan layak tayang di layar bioskop moderen. Sebuah revolusi baru sinema Indonesia.

Bagi dunia perfilman Indonesia saat ini, nampaknya LDM memang agak sulit untuk mampu menyelinap diantara film-film “kacangan” yang masih menjual hantu dan erotisme. Jangankan LDM, film-film berkualitas besutan para sineas muda pun masih banyak yang bersusah payah mendapat tempat antrian tayang di gedung-gedung bioskop.

Padahal LDM, sebagai sebuah film buatan tahun 1954, alur ceritanya ternyata masih sangat berkaitan dengan suasana kehidupan masyarakat saat ini. Bercerita tentang sulitnya beradaptasi atas sebuah perubahan yang mendadak (revolusioner). Kisah seorang pejuang yang baru saja kembali dari kemiliteran ke masyarakat, namun mendapat kesulitan menghadapi kenyataan perbedaan cara pandang. Sebagai pejuang, Iskandar (tokoh utama) musti berhadapan dengan kenyataan bahwa masyarakat lebih sibuk menyikapi kemerdekaan dengan cara pesta dan dansa-dansi. Masyarakat sudah melihat hasil kemerdekaan itu adalah semangat mencari uang dan kekayaan. Di sisi lain, cara meraih kekayaannya pun nyaris serabutan dan hantam keromong. Terlebih saat Iskandar tahu bahwa mantan komandannya pun ikut sibuk menumpuk kekayaan dengan cara-cara menjual patriotisme dan nasionalisme.



Sebagai sebuah film LDM tidak banyak menjual eye-candy, ini adalah film drama yang menggiring penontonnya untuk hanyut dalam pertanyaan dan kegaualauan Iskandar. Alur ceritanya sangat baik, membuka film dengan sebuah pengantar, lalu menutup film dengan mengajak kembali penonton ke awal topik pengantar tadi. Adegan di awal film merupakan simbolisme dari bagian akhir film dan akhirnya kita bisa mengerti kenapa “jam malam” menjadi “cantolan” dari latar belakang film ini.

Jam malam, adalah sebuah peraturan pemerintah untuk melarang warga keluar malam mulai jam 22.00. Aturan ini dikeluarkan berkaitan dengan kondisi negara saat itu – tahun 1949, yang baru saja merdeka dan masih sibuk dengan urusan agresi militer. Lokasinya diambil di Bandung karena situasi Bandung pun saat itu baru hancur akibat gerakan militer Bandung Lautan Api. Kondisi sosial pada saat itu pun menjadi alasan pas kenapa lokasi cerita ini di Bandung. Kehidupan sosial yang “borjuis” dihadirkan dengan sangat wajar dan rapih, direpresentasikan oleh keluarganya Norma, sang calon isteri. Ayah Norma seorang terpandang di Bandung dan adiknya mahasiswa elit. Kehidupan mereka mapan dan mewah, punya halaman besar dan hewan peliharaan.

Untuk menguatkan cerita, Usmar Ismail (sang sutradara) menghadirkan karakter-karakter kontra mewah yang sosial elite, LDM juga menampilkan representasi kehidupan rakyat kecil, yang miskin, seadanya, polos, hiburan murah, juga bagian masyarakat yang mimpi untuk bisa kaya mendadak, lewat prostitusi dan judi. Disinilah Usmar Ismail bermain-main dengan representasi arti dari sebuah merdeka. Merdeka orang kecil adalah merdeka untuk punya mimpi dan harapan, namun kenyataannya mereka tidak punya harapan dan sulit untuk bermimpi. Semua sudah terkunci kepada satu impian, yaitu uang.

Karakter-karakter yang tampil di LDM sangat efektif. Semua punya peran yang saling mendukung dan menguatkan. Tidak mubazir, asal tempel, atau pemanis layar. Penonton sudah lagi tidak perlu bertanya “mana ibunya Norma?” atau “apa hubungan Laila dengan Puja?”. Semua karakter sudah cukup untuk membawa pesan cerita ini. Bagi kita yang tahu bagaimana kehidupan sosial kota Bandung tentu akan paham apa hubungan Puja dengan Laila dan kenapa mereka tinggal serumah. Sekedar bocoran, Puja dan Laila tinggal di lokalisasi “khas Bandung” di sekitar stasiun kereta api Bandung. Maka siap-siaplah menikmati pemandangan Bandung tahun 50-an.

Terakhir, saya sangat kagum dan senang atas restorasi film lama LDM ini. Ini benar-benar sebuah revolusi sinema Indonesia. Saat tepat muncul di saat pemerintah sedang ramai mengumandangkan industri kreatif nasional. Agak sedih saat melihat opening scene film LDM ini ditulis nama-nama lembaga asing. Tapi mereka peduli, mereka adalah pihak yang sangat menghargai karya seni sebagai warisan budaya. Artinya, film “Lewat Djam Malam” ini merupakan sebuah karya sinema yang layak masuk warisan budaya dunia. Ini sebuah terobosan. Salah satu yayasan penyandang restorasi ini adalah World Cinema Foundation yang dipimpin oleh Martin Scorsese. Tidak heran jika setelah restorasi ini selesai, film LDM ditayang perdana pada bulan Mei 2012 di even film dunia bergengsi yaitu Cannes Film Festival Prancis. Membanggakan bukan?

Semoga “Lewat Djam Malam” menjadi trigger untuk pemerintah agar ikut andil dan membantu proyek restorasi untuk film-film nasional berkualitas lainnya. Bagaimana pun, film adalah produk budaya dan saksi perjalanan seni budaya sebuah bangsa. Semoga tidak berhenti sampai di sini.

ANTO MOTULZ


Dikutip atas seijin penulis.
Sumber: Motzter.com



No comments:

Post a Comment