"Lewat Djam Malam": Sebuah Jejak Sejarah


Saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah terlibat dalam upaya menyelamatkan film ini. Mereka antara lain National Museum of Singapore,  Martin Scorcese yang lewat World Cinema Foundation telah menanggung separuh biaya restorasi ini, Yayasan Konfiden, Sinematek, Kineforum, dan lain-lain  yang telah bekerja keras membuat film ini menjadi “utuh” dan bisa kita nikmati kembali mulai 21 Juni 2012 di beberapa bioskop tanah air.

Saya sempat terharu karena akhirnya berkesempatan menyaksikan film karya Usmar Ismail hasil restorasi ini. Gambarnya yang semula suram, penuh bercak dan “hujan” kini menjadi terang dan bersih. Ya, masih ada sih sedikit “gerimis” di beberapa bagian, tetapi itu sudah jauuuuuh lebih baik daripada sebelum direstorasi.  Suaranya juga menjadi jelas, tidak ada lagi bunyi “kresek kresek”. Oh, seandainya Usmar Ismail atau Asrul Sani masih hidup, mereka pasti akan sesenggukan menyaksikan karya mereka “hidup” kembali.

Saya tidak akan menceritakan sinopsisnya, karena itu bisa dengan mudah kautemukan di internet. Saya lebih suka ngobrolin bahwa film ini adalah semacam arsip sejarah Indonesia tahun 1950-an. Di film ini kita menyaksikan Bandung tempo doeloe dengan Jalan Braga dan Gedung Sate yang terkenal itu. Juga kehidupan masyarakat kita, khususnya golongan menengah atas, yang gemar berpesta layaknya orang Belanda. Lengkap dengan dansa-dansi ala Eropa diselingi lagu “Rasa Sayange” yang menjadi semacam acara berbalas pantun di antara muda-mudinya.



Coba perhatikan gadis-gadisnya. Mereka memakai gaun tanpa lengan seperti noni-noni Belanda. Gaun selutut itu bagian bawahnya melebar sehingga ketika pemakainya berputar, bagian bawah gaunnya itu mengembang.  Di film ini, Netty Herawati dan Dhalia tak kalah cantik dari Katherine Hepburn atau Liz Taylor, deh. Cara mereka menata rambut dan melukis alis juga mirip.  Begitu pun pemain prianya. Model rambut dan gaya sisiran A.N. Alcaf f dan Bambang Hermanto tampil ala James Dean dengan kumis ala Clark Gable. Lewat penggambaran pesta di film ini, terlihat juga pergaulan muda-mudi kota zaman itu sudah cukup bebas. Maksud saya, mereka tidak sungkan-sungkan bermesraan di muka umum.

Musik yang ditata oleh GRW Sinsu sedap didengar  dan nuansa kolonialnya berasa banget.  Tak heran jika pada FII 1955 di Jakarta, film ini memenangi penghargaan untuk kategori Tata Musik Terbaik.

Bagaimana dengan akting para pemainnya? Masih standar, tetapi lumayan, terutama Bambang Hermanto yang berperan sebagi Puja, mantan pemuda pejuang yang menjadi centeng rumah bordil. AN Alcaff juga cukup menjiwai perannya sebagai Iskandar, mantan pemuda pejuang idealis yang frustrasi melihat negeri yang diperjuangkannya ternyata menjadi negeri yang korup.

Singkatnya, Lewat Djam Malam adalah film klasik Indonesia yang wajib ditonton para penikmat dan penggila film.

ENDAH SULWESI

Dengan seijin penulis.
Sumber: blog Kutu Buku Ngomongin Film

No comments:

Post a Comment