Mempertimbangkan "Lewat Djam Malam"

“Kembali saja ke hutan atau ke gunung,” lanjut Gunawan ketika mengetahui Iskandar menolak tawaran kerjanya. Iskandar baru saja kembali dari tentara. Tempat di mana dia bisa mengabdi kepada negara, sekaligus meluapkan idealismenya yang tinggi. Gunawan, yang dahulunya adalah pimpinan Iskandar di tentara, kembali menyuruh-nyuruhnya seakan-akan Iskandar memang hanya berharga sebesar orang suruhan.


Lewat Djam Malam memang bukan film paling menghibur yang ada di bioskop tahun ini, tapi bisa saya pastikan, bahwa ini akan menjadi film paling beda di antara yang lainnya. Bahkan ketika ada film ajaib seperti “Mr Bean Kesurupan Depe” bersanding di studio sebelahnya. Wajar, Lewat Djam Malam memang bukan film produksi zaman kita.

Dibuat pada tahun 1954, Lewat Djam Malam adalah proyek ambisius Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik untuk membuktikan, bahwa Indonesia yang baru merdeka, bisa membuat film berkualitas. Awalnya, film ini akan dikirimkan ke Festival Film Asia, namun akhirnya batal dan berakhir merajai Festival Film Indonesia 1955. Karena buruknya perlakuan pemerintah terhadap film-film lama, Lewat Djam Malam pun terkena imbasnya. Seiring dengan waktu, film ini mengalami cacat fisik di mana-mana. Bantuan justru datang dari Singapur, yang menawarkan restorasi film ini. Meskipun hasilnya tidak sempurna, namun sudah layak tonton. Tetap saja, setelah semua yang dilewati, kasus ini makin memperlihatkan buruknya perhatian pemerintah pada kebudayaannya.

Lewat Djam Malam berputar pada Iskandar, yang seperti sudah saya katakan, baru saja keluar dari tentara. Masih terbawa jiwa pejuangnya, Iskandar menyadari bahwa dia belum terbiasa dengan dunia “baru”nya. Diperlihatkan sepanjang film, Iskandar menemui satu-persatu teman lamanya, ditawari pekerjaan, hanya untuk memperjelas ketidakcocokannya dengan dunia. Belum lagi, ternyata selama di tentara, Iskandar memiliki beban yang belum bisa dilepas. Rasa bersalah yang tidak kunjung hilang dari hasil perang. Bersamaan dengan semuanya, Iskandar mencari kejujuran, dan pertemuannya dengan kebohongan dan kelicikan membuatnya dirinya makin bingung.



Kekuatan utama Lewat Djam Malam memang terletak pada konflik internal dalam diri Iskandar yang diperankan dengan sangat baik oleh AN Alcaff. Gelisah, insekuritas, dan kurangnya konformitas pada kehidupan baru terpampang jelas. Didukung dengan karakterisasi yang kuat pada tokoh sekitarnya, kian mempermanis jalan cerita. Saya suka sekali apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail terhadap karakter Gunawan yang keras, Puja yang slengekan, atau Laila yang menggoda. Sangat konsisten sepanjang film. Sesekali juga, ulah mereka menimbulkan tawa, mencairkan suasana. Segi Teknis bukanlah suatu hal yang patut dibicarakan mengenai sebuah film yang dibuat 50an tahun yang lalu. Namun beberapa hal yang bisa diberitahu adalah film ini rasionya tidak 16:9, jadi belum widescreen seperti film-film pada umumnya. Masih menyerupai kotak seperti TV, mungkin 4:3. Editing dan masalah visualnya juga bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, bila kita sudah pernah mengenyam film seperti Transformers (doh). Tapi kembali lagi, semuanya tidak mengganggu dan tidak adil untuk membandingkannya.

Namun ada satu hal yang membuat film ini lebih nikmat ditonton saat ini, yaitu rasa historis yang baru didapatkan sekarang. Lagu Halo-Halo Bandung, Rasa Sayange, dan Potong Bebek Angsa. Atau juga pemandangan Braga maupun Gedung Sate jaman dulu, hanya dapat membuat kita makin bangga pada sejarah negara ini. Itu semua adalah alasan kuat lainnya untuk segera menonton hasil restorasi Lewat Djam Malam.


JANITRA E.P.
Dikutip atas seijin penulis. Sumber: Romantic Superhero

No comments:

Post a Comment