Lapisan Pemaknaan dalam "Lewat Djam Malam

“Barang siapa yang tidak kuat melawan kelampauan akan hancur” — Gafar

I

Revolusi baru saja berakhir. Seorang mantan pejuang yang kelimpungan menyesuaikan diri dengan situasi pasca-revolusi bertemu pelacur yang merawat sisa-sisa nyala kehidupannya dengan mengkliping iklan-iklan di majalah LIFE. Laila, pelacur itu, tak becus melafalkan nama “LIFE”. Iskandar, mantan pejuang itu, membetulkan pelafalan Laila: “Itu LIFE. Bacanya La-if. Majalah Amerika. Memang mau dibeli semua?” Scene itu memukau saya. Dengan mengingat konsep “obtuse meaning” yang diperkenalkan Roland Barthes, kombinasi antara “salah pelafalan”, “majalah Amerika”, “perempuan/pelacur yang mengkliping iklan-iklan produk asing”, sampai “mantan pejuang yang gelisah” memberi saya ruang yang lapang untuk menyusun (pem)baca(an)-(pen)tafsir(an) pada film Lewat Djam Malam.

II

Saat pertama kali menonton Lewat Djam Malam, perhatian saya terbetot dengan rentetan kritik sosial yang dihamparkan Usmar Ismail melalui perjumpaan Iskandar dengan situasi pasca-revolusi. Melalui Iskandar, satu per satu situasi pasca-revolusi dijlentrehkan tanpa tedeng aling-aling: korupsi, birokrasi yang lamban, revolusi yang diboncengi oportunisme, militerisme yang merembes pada kehidupan sipil, sampai borjuasi baru yang menikmati kemerdekaan dengan gratis.

Membaca Lewat Djam Malam dari sudut itu pun sebenarnya sudah menghadirkan pengalaman sinematik yang memuaskan. Menakjubkan menyadari Usmar Ismail (dan Asrul Sani sebagai pemilik ide cerita dan penulis skenario) sudah berhasil dengan jitunya memotret Indonesia yang masih belia dan memampangkan potret itu dengan sedemikian rupa sehingga tetap relevan sampai sekarang. Dalam banyak hal, potret Indonesia dalam Lewat Djam Malam sebenarnya masih sama dengan potret Indonesia kini: korupsi, lambannya birokrasi, militerisme yang masih merembes dalam cara berpikir masyarakat sipil sampai soal borjuasi kelas menengah yang acuh tak acuh. Itu sebabnya Lewat Djam Malam bisa dibilang karya klasik sekaligus kontemporer.



Restorasi Lewat Djam Malam, buat saya, semakin menegaskan watak kontemporer film ini. Secara fisik, Lewat Djam Malam memang seperti terlahir kembali. Saya yang sempat menonton versi pra-restorasi menemukan betapa kontrasnya penampilan Lewat Djam Malam pasca-restorasi. Gambarnya jauh lebih bersih, suaranya juga lebih jernih. Jika dulu saya menontonnya di Kineforum, kali ini saya menontonnya di bioskop yang berada di jantung pusat-belanja kota Bandung, yang dengan serta merta membuat pengalaman menonton Lewat Djam Malam pasca-restorasi lebih terasa “ke-kini-annya” dan “ke-di sini-annya” (“kini” dan “di sini”) – dua faktor yang sering dianggap sebagai ciri penting seni kontemporer.


III

Saat menonton-membaca kembali Lewat Djam Malam pasca-restorasi, sosok Laila menyeruak dengan lebih kentara. Laila adalah “the-other” dalam Lewat Djam Malam. Kehadirannya membuat Lewat Djam Malam terasa memiliki perspektif dan ruang pemaknaan yang lebih (le)luas(a).

Dalam teks Lewat Djam Malam, Laila diperkenalkan berasal dari Sumedang. Dia hijrah ke Bandung menyusul kepergian suaminya yang tak jelas. Laila lantas menjadi pelacur di Bandung di bawah pengawalan (penguasaan?) Puja, anak buah Iskandar di masa revolusi. Di sela pekerjaan melayani laki-laki, Laila menyibukkan diri dengan menggunting iklan barang-barang perempuan. Selain disimpan secara khusus dan rapi oleh Laila, guntingan iklan-iklan itu juga ditempelkan di dinding rumah. Hampir setiap sudut rumah tempat Laila tinggal ada tertempel guntingan iklan-iklan itu. Ketika Iskandar bertanya kenapa senang menggunting dan mengumpulkan iklan-iklan, Laila menjawab bahwa itu semua dilakukan untuk bersiap-siap jika satu waktu ada lelaki yang bertanya apa yang dia inginkan. Dulu sebelum menikah, kata Laila, calon suaminya sering bertanya apa yang saya inginkan. Tapi Laila mengaku ia tak tahu apa yang diinginkannya. 

Pada Laila, menggunting iklan-iklan (dengan demikian: mengarsip, mendokumentasikan) adalah sebuah aksi yang sepenuhnya diperuntukkan bagi masa depan. Tentu saja iklan-iklan yang digunting itu berasal dari majalah yang sudah terbit sebelumnya (dengan demikian berasal dari masa lalu). Tetapi tindakan mengarsip-mendokumentasikan masa lalu itu, sekali lagi, diperuntukkan bagi masa depannya: kelak ketika ada lelaki yang bertanya apa yang diinginkan Laila maka Laila sudah tahu jawabannya dengan menengok dokumentasi yang dikumpulkan. Laila tak bilang (atau tak sadar?), bahwa jika masa depan yang dibayangkannya itu datang, iklan-iklan itu mungkin sudah terlalu kuno, produk-produk perempuan yang didokumentasikannya itu mungkin sudah ketinggalan zaman, atau bahkan sudah tidak diproduksi lagi. Sosok Laila, yang oleh Puja dianggap sinting dan gila, justru menjadi satu-satunya tokoh yang punya kesadaran sejarah yang “lengkap”.

Bandingkan dengan Iskandar yang sepanjang film dihisap habis-habisan oleh masa lalu (baca: ingatannya pada masa revolusi yang menyakitkan) atau Gunawan/Gafar yang memilih tak ambil pusing dengan sejarah dan memilih fokus pada masa depan atau Adlin/Noorma yang selalu disibukkan dengan upaya menikmati kekinian lewat pesta-pesta yang membuat perjuangan revolusi seakan tak punya gema apa-apa. Laila adalah satu-satunya tokoh yang ditempatkan dalam kontinum masa lalu-masa kini-masa depan. Saya menikmati permainan wacana sejarah lewat karakter Laila ini: masa lalu/sejarah didokumentasikan demi masa depan, tapi kelak ketika masa depan itu bener-bener menjelma seperti yang diharapkannya, Laila justru akan kembali mundur ke masa lalu (pada guntingan iklan-iklan yang dari waktu ke waktu akan semakin tua usianya).

Bagaimana Laila dihadirkan dalam arus ulang-alik sejarah itu membuat Laila menjelma ke hadapan saya sebagai alegori ke-Indonesia-an. Laila adalah alegori atas Indonesia yang tak henti-hentinya diacak dan dikocok oleh dilema kesejarahan ini. Indonesia mengakui sejarah sebagai salah satu genesisnya (dari Sriwijaya, Majapahit, kolonialisme, pergerakan nasionalisme) tapi cukup jelas juga sejarah menjadi “beban” yang membuat upaya membangun masa depan seringkali terantuk oleh keharusan menghormati/menyucikan sejarah (otonomi daerah dan upaya-upaya lain untuk mencairkan kebekuan sentralisme seringkali dihadang oleh “keharusan” menjaga NKRI sebagai warisan sejarah yang tak boleh diutak-atik). Banyak yang menginginkan masa depan yang lebih baik, tapi saat masa depan yang diimpikan itu tak kunjung datang banyak yang memilih untuk kembali menoleh ke masa silam.

Saat Orde Baru bisa menghadirkan stabilitas ekonomi dengan harga hilangnya kebebasan berpolitik, banyak yang merindukan terbukanya pertarungan politik secara bebas sebagaimana terjadi di era pra-Orde Baru, terutama pada era Demokrasi Liberal. Saat Orde Reformasi berhasil mengembalikan sebagian besar kebebasan politik, banyak yang menoleh kembali pada stabilitas ekonomi yang dihadirkan oleh Orde Baru. Bahkan jika kita berhenti sampai di sini sekali pun, Lewat Djam Malam terlihat punya ruang diskursif yang enak untuk terus dieksplorasi. Kehadiran Laila memompa udara segar pada ruang diskursif itu dan membuat saya (sebagai pelaku aktif baca-tafsir) punya nafas lebih panjang lagi untuk terus mengeksplorasi teks Lewat Djam Malam.

IV



Terlihat Iskandar memandang Laila yang sedang mengamati iklan majalah LIFE yang digunting dan dikumpulkannya sendiri. Baju kebaya ketat yang memperlihatkan belahan dada yang rendah tertutup/ditutupi oleh guntingan iklan yang dipegang Laila. Pada fragmen ini, bangunan karakterisasi Laila sebagai pelacur yang dengan intens menggoda Iskandar lewat nyanyian sensual sekaligus penuh ratapan seakan runtuh. Laila berkata pada Iskandar bahwa sudah lama dia mencari-cari contoh dari apa yang diinginkannya akan diberikan oleh seorang lelaki baik hati. Dan Laila menemukannya pada majalah-majalah (lama) LIFE.

Kegembiraan menemukan apa yang dicari itu terlihat jelas. Senyuman tipis Laila, posisi kepalanya yang agak miring, tangan kirinya yang tergolek lemas di atas tumpukan majalah LIFE – semua itu adalah kombinasi yang menampilkan Laila sebagai manusia yang sedang bergembira. Secara luas biasa, Laila memperlihatkan apa yang oleh Barthes tunjukkan saat menafsirkan salah satu fragmen dalam Battleship Potemkin. Barthes menafsirkan fragmen saat dua orang perempuan sedang menangis penuh kedukaan dengan mengutip Baudelaire: “The emphatic truth of gesture in the important moments of life.” (Kesungguhan gerak tubuh nan empatis yang muncul saat seseorang mengalami momen penting dalam hidupnya).

Teks Lewat Djam Malam memang menunjukkan bahwa hanya pada momen-momen sedang menggunting atau melihat-lihat iklan-iklan produk perempuan itulah Laila selalu terlihat gembira, itulah momen yang selalu terasa berharga bagi Laila, bagi hidup Laila. Bukan kebetulan jika majalah yang digunting itu bernama majalah “LIFE” (artinya: “hidup”). Maka saat Puja mengacak dan melempar-lemparkan guntingan iklan itu,

Laila menangis karena apa yang paling berharga baginya sudah dilecehkan, mimpi-mimpinya tak lagi dihargai, dan hidupnya yang paling berharga dirampas. Fragmen yang terlihat dalam gambar di atas memaparkan dengan jelas bagaimana guntingan iklan itu tidak sekadar dekorasi (“dekorativisme”, dalam istilah Barthes untuk pernak-pernik sepele dalam fragmen-fragmen gambar dari film Eisenstein). Saat saya memandang sekali lagi fragmen gambar di atas, guntingan iklan itulah yang selalu muncul sebagai pusat. Urutan pembacaannya: Iskandar memandang Laila, Laila memandang guntingan iklan. Guntingan iklan itulah yang menjadi ujung semua drama.

Menariknya lagi, sudut pengambilan gambar memaksa pembaca-penonton untuk melihat guntingan iklan secara berbeda dari yang dilihat Laila. Sudut pandang pengambilan gambar membuat kita hanya bisa melihat halaman sebaliknya dari yang dilihat Laila. Maka kita melihat gambar empat orang yang hanya terlihat bagian pinggul ke bawah. Keempatnya terlihat sedang melangkahkan kaki, sedang bergerak, sedang berjalan ke arah yang sama. Apa arti itu semua? Sebagai pembaca-penonton yang aktif menafsir, saya terpukau dengan pamandangan ini. Itu semua seperti sebuah suplemen yang berlimpah, imbuhan yang tak terserap sepenuhnya oleh pikiran saya, sesuatu yang terlihat jelas sekaligus samar, yang maknanya terlampau licin untuk digenggam.

Itu seperti sesuatu yang “asing” dalam bangunan perkisahan Lewat Djam Malam, tapi jelas-jelas ada di dalam film Lewat Djam Malam. Inikah yang dimaksud Barthes sebagai “obtuse meaning”?


V

Barthes memperkenalkan “obtuse meaning” (selanjutnya hanya ditulis “obtuse”) sebagai lapis ketiga pemaknaan (“third meaning”). Pada lapis pertama ada “lapis informasional” yang bisa dibandingkan dengan apa yang biasa disebut “makna denotatif”. Pada lapis ini, pembaca-penonton tinggal menyerap latar, kostum, tata letak, gerak laku para tokoh, dialog. Pada lapis inilah kebanyakan aktivitas membaca-menonton biasa berlangsung dan biasa kita lakukan. Pada lapis kedua ada “lapis simbolik” yang bisa kita bandingkan dengan apa yang biasa disebut sebagai “makna konotatif”.

“Lapis simbolik ini bisa diurai ke dalam simbolisme referensial, simbolisme diegesis, sampai simbolisme historis. Pembaca-penonton perlu perangkat tambahan untuk bisa menembus “lapis simbolik” ini (menurut Barthes, perlu menggunakan beberapa disiplin untuk menembus lapisan ini, bisa ekonomi, psikologi, antropologi, sejarah, dll). Dalam telaahnya atas beberapa fragmen Ivan the Terrible, film karya Eisenstein, “lapis simbolik” itu ditunjukkan Barthes pada fragmen di mana Ivan sedang diguyur kepingan emas oleh dua orang abdi dalem, seperti terlihat di bawah ini:



 Fragmen itu ditunjukkan Barthes mengungkapkan beberapa makna yang transparan, di antaranya: (1) itu menandakan ritus penahbisan seorang raja (simbolisme refrensial, merujuk khasanah kebudayaan tentang bagaimana seorang pemimpin ditahbiskan); (2) guyuran uang emas itu menyimbolkan kekayaan yang berlimpah (simbolisme diegesis, merujuk bangunana cerita yang menjelaskan bagaimana kepemimpinan terbentuk bisa karena kelimpahan kekuatan atau kekayaan); (3) guyuran emas dari para abdi dalem pada Ivan menunjukkan simbol pertukaran ekonomi dari kelas bawah (para abdi dalem) pada kelas elit (Ivan yang dilantik menjadi Tsar). Sementara “obtuse” adalah lapis ketiga pemaknaan (“third meaning”). Barthes mengakui kesulitan memerikan “obtuse” [“The third meaning theoretically locatable but not describable,” tulis Barthes].

Kesulitannya terletak pada watak “obtuse” yang bukan hanya terputus dari narasi, tapi bahkan acuh tak acuh pada cerita, kronologi, karakterisasi, plot, dll. Tetapi bukan berarti “obtuse” bukanlah bagian dari keseluruhan cerita. “Obtuse” adalah apa yang tidak diceritakan tapi sesungguhnya bagian integral sebuah cerita. Dia berada di luar narasi, tapi masih terkait dengan narasi.“Obtuse” itu antara ada dan tiada, tampak dan tak tampak, terlihat tapi sekilas – atau dalam kata Eisenstein: hanya tampak sekilas lantas menyelinap. 

Pada Barthes, “obtuse” bahkan dicari pada satu frame dari jutaan frame yang merangkai sebuah film (satu detik dalam film bisa terdiri dari puluhan sampai ratusan frame – istilah teknisnya “frame rate”: jumlah frame per detik). Tidak heran jika seorang pembaca-penonton-penafsir kadang terkejut atau terpesona saat melihat sebuah fragmen, tapi keterkejutan itu tak cukup jelas diartikulasikan, saking samarnya, dan seringkali juga mudah copot dari ingatan. Itulah pengalaman berjumpa dengan “obtuse”.

Barthes sendiri mengaku bahwa pemahamannya mengenai “obtuse” muncul pertama kali saat melihat potongan-potongan gambar sebuah film yang dipajang dalam bentuk poster di sebuah lobi bioskop atau di halaman-halaman surat kabar. Bagi Barthes, “obtuse” bisa ditemukan pada artefak utama sebuah film: pita seluloid, sebuah frame dalam film (“the still”), yang dilihat dalam keadaan diam atau tidak sedang diputar di proyektor. Dalam film Eisenstein yang lain, Battleship Potemkin, Barthes menemukan “obtuse” pada frame saat salah seorang tokohnya mengepalkan tangan.



Detail tangan yang mengepal itu mempesona Barthes dan membuat pikirannya bekerja membongkar “makna ketiga”. Dalam baca-tafsir Barthes, frame kepalan tangan itu menjelaskan seni Eisensteinian tidak bersifat polisemi atau tidak multi-tafsir, tapi jelas mewedarkan gagasan tentang revolusi.

Dalam fragmen gambar Lewat Djam Malam di atas, saya melihat beberapa makna yang transparan (“obvious meaning”). Pada “lapis informasional”, fragmen gambar di atas jelas menunjukkan bagaimana Laila yang memimpikan masa depan yang lebih baik melalui impian-impiannya pada barang-barang yang ada dalam guntingan iklan. Pada “lapis simbolik”, saya melihat cincin dijari manis Laila sebagai tanda bahwa (1) Dia perempuan yang (pernah/sudah) menikah. “Simbolisme referensial” dari cincin ini merujuk banyak khanasah kebudayaan yang memang menyimbolkan ikatan pernikahan lewat cincin kawin; (2) Tatapan penuh harap Laila pada barang-barang yang dilihatnya dalam iklan menjadi “simbolisme diegesis” yang menjelaskan alur kisah dan karakterisasi Laila yang memang menunggu datangnya lelaki yang mau membawanya keluar dari pelacuran untuk membangun keluarga yang berbahagia. (3) Tatapan penuh harap Laila pada barang-barang yang dilihatnya dalam iklan juga menyimbolkan “kekurangan perempuan” sebagai objek-pasif yang membutuhkan pemenuhan nafkah pada lelaki atau suami yang mau membelikannya barang-barang tersebut.

Modus pertukaran ekonomi antara lelaki dan perempuan terlihat di sini. Guntingan halaman iklan yang tidak dilihat Laila (halaman belakang dari yang dilihat Laila tapi jadi halaman depan yang terlihat oleh saya) ini seperti berada di luar dua lapis pemaknaan di atas. Gambar empat orang yang terlihat setengah badan itu terlalu jelas untuk diabaikan karena itulah yang terlihat sebagai pusat tiap kali dan kapan pun kita melihatnya. Sebagai pembaca-penonton yang mencoba aktif menafsir, makna yang terpampang dalam guntingan iklan itu seperti terlihat jelas tapi sekaligus samar. Mudah ditangkap (karena berkali-kali dilihat, gambar itulah yang jadi pusat pemandangan) tapi maknanya selalu lepas.

Jika Barthes menyebut “obtuse” dengan merujuk kalimat Eisenstein (“just short of the cutting edge”), saya merasa tepat jika menyebutnya sebagai “bertukar tangkap dengan lepas” dengan merujuk parafrase Amir Hamzah. Agaknya, “obtuse” yang ingin disampaikan gambar itu terpacak pada langkah kaki (dengan demikian “gerakan”) empat orang yang terlihat dalam guntingan iklan itu. Situasi empat orang yang terlihat “sedang bergerak” itu membuat fragmen yang dipampangkan gambar ini terlihat hidup dan bergerak, membuat potongan fragmen ini (ya, ini memang benar-benar potongan, cuma sepotong) tetap terpaut dengan hakikat film sebagai seni dari “gambar-hidup”, “gambar-bergerak”, dan bukan “gambar-diam” selayaknya seni lukisan. Empat orang yang sedang melangkahkan kaki, berjalan mantap ke arah yang sama, menyiratkan sebuah progresi, langkah yang berderap maju. Progresi, kita tahu, adalah jantung dari poyek modernisme (“the idea of progress”).

Pada modernisme sejarah dipercaya (harus) bergerak secara progresif ke arah yang jelas. Ada kepercayaan optimistik yang meluap-luap pada gerak sejarah yang berderap maju dalam modernisme. Lewat Djam Malam adalah sebuah cerita tentang modernisme yang berderap, tentang keyakinan bahwa gerak sejarah sedang berjalan menuju kemajuan. Siapa yang melawan gerak kemajuan itu akan hancur digilas. Keyakinan yang meletup-letup pada the idea of progress digambarkan dengan amat plastis oleh ucapan Gafar pada Iskandar: “Siapa yang tak bisa melawan kelampauan, dia akan hancur.” Iskandar berkali-kali harus berhadapan dengan progresi itu. Dua kali dia bertemu dengan Gafar di tempat pembangunan kompleks perumahan.

Pertemuan Iskandar dengan Gafar selalu terjadi dalam latar progresi itu. Jika tidak di tengah rumah-rumah yang sedang dibangun, pertemuan berlangsung di ruang kerja Gafar yang di dalamnya terdapat sejumlah rancangan bangunan. Seluruh cerita dalam Lewat Djam Malam menggambarkan ikhtiar untuk bergerak maju. Gambar rancangan bangunan di kantor Gafar atau meja gambar di rumah Gafar adalah metafor akan keterlibatan manusia Indonesia dalam proyek progresi sejarah ini. Judul Lewat Djam Malam juga mengisyaratkan sebuah gerak, “lewat”, “melewati”. Pembukaan Lewat Djam Malam bahkan memampangkan langkah kaki yang dengan mantap bergerak maju, kendati gestur langkah kakinya terkesan agak asal-asalan, seperti hendak mengatakan “berjalan maju tapi tak tentu”. Bukan kebetulan juga jika “langkah kaki tak tentu” dalam adegan pembuka itu juga hanya “separuh badan”, hanya kakinya saja, tak memperlihatkan sama sekali anggota badan bagian atas – persis seperti gambar empat orang dalam guntingan iklan itu.

Ada langkah kaki yang pasti, ada kesamaan arah yang dituju empat orang itu, tapi ke manakah empat orang itu akan melangkah? Tidak pasti. Iskandar adalah retakan dari keyakinan akan gerak sejarah yang berderap maju itu. Saat semua orang (Gafar, Gunawan, Noorma dan ayahnya, pejabat di kantor gubernuran) percaya bahwa kemerdekaan Indonesia harus diisi dengan pembangunan demi kemajuan, Iskandar selalu terantuk-antuk mengikuti arus zaman itu. Dia terus-menerus diganggu oleh sejarah, oleh masa lalu, oleh ingatannya yang keruh dan menyakitkan dari era revolusi. Jika harus mencari potongan badan yang hilang dari empat orang dalam gambar iklan itu, itulah Iskandar. Bukan sebuah kebetulan pula jika di gambar itu Iskandar juga terlihat hanya separuh badan, dari separuh dada/punggung ke atas. Di lihat dari sudut pandang ini, empat orang dalam guntingan iklan yang terlihat separuh itu menjadi lengkap dengan kehadiran separuh badan Iskandar.

Maka, jadi jelas juga, fragmen gambar di atas itu unik, dia berada di luar narasi Lewat Djam Malam yang tampak, menonjol tapi samar, penuh dengan makna yang berlimpah. Tapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Barthes bahwa “obtuse” pada fragmen-fragmen film Eisenstein tidaklah menumbangkan alur cerita, fragmen gambar di atas itu juga tidak menumbangkan alur cerita (bahkan kendati “obtuse” itu hanya diambil dari satu fragmen diam, saat pita seluloid-nya sedang tidak diputar di proyektor). Jika Barthes menganggap fragmen gambar kepalan tangan yang diambil dari film “Battleship Potemkin” adalah “obtuse” yang menjelaskan estetika Eisensteinian sebagai sepenuhnya bermakna revolusioner, maka guntingan iklan yang menggambar separuh badan orang yang berjalan –buat saya—menjelaskan estetika Usmar Ismail sebagai bermakna modern. Tetapi, modernisme ala Usmar Ismail ini adalah modernisme yang masih mencari bentuk, tepatnya: terus mencari bentuk, sebagaimana gambar empat orang itu juga terlihat separuh badan. Kita tahu, Usmar adalah protagonis dalam sinema Indonesia yang terlibat secara aktif dan berdarah-darah dalam mencari prototipe sinema Indonesia modern.

Usmar sampai harus berguru ke Amerika untuk memperdalam film di Los Angeles, dengan berkeliling dan melihat langsung produksi film Hollywood. Lewat Djam Malam dibuat pasca Usmar keliling Amerika. Seperti ditunjukkan oleh Totot Indratno dalam tulisannya dalam buku Lewat Djam Malam Diselamatkan, Usmar terus memperbaiki dan memperbaharui pendekatan dan orientasi film-filmnya. Sejak membuat Darah dan Do’a pada 1950, Usmar tak pernah berhenti bertarung dan mencari bentuk dari apa yang pantas disebut sebagai film Indonesia yang –dalam kata-kata Totot Indratno—“bukan sekadar ‘film yang dibuat di Indonesia’ atau ‘film yang dibuat orang Indonesia’.” Tidakkah pencarian yang sengit dan penuh pertarungan itu juga berlaku pada ke-Indonesia-an?


VI

Catatan mengenai Lewat Djam Malam ini adalah ikhtiar saya dalam mencoba mendekati dan membaca sebuah film. Kali ini saya mencoba melakukannya dengan cara yang pernah dilakukan Roland Barthes ketika membahas film-film Sergei Eisenstein. Saya tidak tahu apakah pembacaan coba-coba yang saya lakukan atas Lewat Djam Malam ini bisa dianggap berhasil dan memuaskan atau tidak. Yang jelas, saya sangat menikmati proses baca-tafsir ini.

Dengan etos Barthesian yang selalu mencoba membebaskan sebuah teks dari otoritas pengarangnya, saya merasakan kenikmatan membaca yang menyenangkan. Sering kita dengar ejekan pada kritikus yang dianggap “menafsir sebuah teks dengan cara rumit padahal pengarangnya sendiri tidak pernah berpikir seperti yang dipikirkan seorang kritikus”. Dalam etos membaca Barthesian, ejekan itu tidak pernah dan tidak seharusnya dihiraukan.

Sebab, bagi Barthes, suatu teks itu tidak punya makna dalam dirinya sendiri. Ketika sebuah teks selesai dibuat, ia tak memiliki makna apa-apa. Makna sebuah teks baru muncul dalam perjumpaannya dengan proses pembacaan. Makna sebuah teks baru mencuat saat seorang pembaca menemukannya. “Yang saya nikmati dari sebuah kisah bukanlah isinya secara langsung, bukan juga strukturnya, melainkan abrasi-abrasi (kikisan, goresan) yang saya goreskan di atas permukaan kisahnya,” tulis Barthes dalam bukunya yang amat merangsang, Le Plaisir du Texte (The Pleasure of Text). Dalam buku itu, Barthes menekankan bahwa proses membaca sudah seharusnya menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan, merangsang, dan dalam momen-momen tertentu bisa melahirkan sensasi orgasmik (“jouissance”) tak ubahnya sebuah aktivitas seksual. Sebagaimana seks, orgasme bisa didapat dengan teknik apa saja, dengan gaya apa saja. Teks adalah seks.

ZEN RS

Dimuat atas seijin penulis.
Sumber: Pejalanjauh.net

2 comments:

  1. Menarik banget metode membaca semiotiknya.
    Jadi pengen praktekin tiap kali nonton film2 sejenis.

    I love this movie, and I love even more after reading this article.

    ReplyDelete