"Lewat Djam Malam": Bukan Film Hantu, Bukan Film Panas

Setelah gagal menonton di TIM, Bekasi, dan di Yogyakarta, saya berhasil juga menjumpai film Lewat Djam Malam ini diputar di XXI CBD Ciledug. “Ini film klasik hitam putih, Kak” begitulah peringatan si mbak penjual karcis supaya saya nantinya tidak kecewa karena membeli tiket untuk film ‘aneh’ ini.

Sampai di dalam hanya ada sepasang lain di pojok atas belakang selain saya dan istri, mereka pun pergi setelah film diputar setengah lebih, mungkin sudah puas pacaran di tempat gelap di bulan puasa pula.


Sekitar sepuluh menit setelah film diputar ada tiga remaja putri masuk dan duduk dua shaf di bawah kami. Mereka terus saja ngobrol cekikikan sambil BBMan. Terpaksa saya protes “Sssssst!” tidak lama mereka keluar dan tidak kembali lagi. Pada akhir film hanya tinggal kami berdua yang masih tinggal menonton. Saya bilang pada istri,
“Aku aneh ya, selera film-ku freak banget”
“Bagus kok filmnya”, jawab istri
“Lain kali kalau emang ga nyaman sama pilihan filmku, ga usah nemenin gapapa”, saya masih tidak percaya
“Beneeran filmnya bagus”, katanya berusaha meyakinkan

Ah mungkin istri saya memang sedang berusaha membesarkan hati saya karena saya memang aneh, menyukai film yang tidak disukai orang kebanyakan.

Akan tetapi film Lewat Djam Malam ini sungguh menakjubkan!

Ini film dirilis tahun 1954, masih hitam putih tapi sudah bersuara jernih. Gambar yang semula gerimis rintik sudah direstorasi oleh Sahabat Sinematek dan dibuat mastering digital dengan bantuan berbagai pihak termasuk dari Singapura dan Italia. Berkat kebaikan hati Cinema 21 film ini dapat tayang di jaringan bioskopnya dan saya nikmati.

Gambar di film ini tidak goyang, depth of field sangat diperhatikan sehingga penonton bisa lebih fokus mendalami tokoh dalam film, dan alurnya maju-mundur dengan sangat cerdas mirip film tahun 2000an. Filmnya pun sangat padat karena harus bercerita tentang banyak hal dalam rentang waktu 48 jam kehidupan seseorang, tidak bertele-tele seperti sinetron masa kini. Kita juga berasa melihat museum hidup dalam film ini sehingga tanpa harus membaca kita serasa dibawa langsung ke sejarah tahun 1950an. Ternyata peliknya persoalan hidup dan intrik antar manusia tidak kalah pelik dibanding zaman sekarang.

Film yang sangat psikologis ini mengajari kita untuk bersikap realis, karena di dalam idealisme yang sangat kental seperti semangat menjaga kemerdekaan sekali pun biasanya ada sesuatu yang dibelokkan. Walaupun ini film termasuk film mikir namun asyik juga melihat bagaimana generasi kakek-nenek kita berpesta dansa dan pedekate. Pantas lah kalau Usmar Ismail dan Asrul Sani jadi nama besar perfilman Indonesia. Ini salah satu film terbaik yang pernah dibuat oleh bangsa Indonesia.

Satu saja yang membuat saya jengah yaitu Ismail, tokoh utama yang diperankan oleh Achmad Nungcik Alcaff, bermuka sangat-sangat blasteran. Rupanya dari dulu yang namanya ganteng itu harus blasteran, muka Jawa lokal seperti saya tidak ada potongan jadi tokoh utama yang ganteng.

ANTON DEWANTORO

Dimuat atas seijin penulis.
Sumber: Anton Belajar Menulis

No comments:

Post a Comment