"Lewat Djam Malam": Sebuah Rekaman Vulgar

Hari Minggu yang lalu saya memutuskan untuk akhirnya menonton Lewat Djam Malam. Sebuah proyek restorasi yang sayangnya tidak didukung oleh pemerintah Indonesia, tetapi mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah Singapura. Miris. Tapi apa mau dikata. Lebih baik restorasi film ini tetap berjalan daripada harus berlama-lama menunggu pemerintah kita ikut mendukung dalam proyek ini. Lewat Djam Malam diputar pada jam 21.25 WIB. Sama seperti judulnya, sudah lewat jam malam. Menurut saya, terlalu malam untuk diputar pada waktu tersebut. Tak heran, ketika masuk studio, lebih dari setengah kursi penonton tidak terisi. Miris. Lagi.

Film dibuka dengan iringan lagu ‘Sepasang Mata Bola’. Lagu depresif. Diikuti dengan langkah kaki yang menuntun saya untuk mengetahui siapa-siapa saja yang ada di balik layar. Tahun 1954. Tercatat tahun produksi film. Saya menikmati membaca nama-nama di credit-title awal. Meskipun hanya satu orang yang saya tahu, yaitu Usmar Ismail sebagai sutradara film. Menyaksikan sejarah yang lahir kembali diiringi dengan lagu depresif dan langkah kaki yang tak jelas akan kemana, siapa yang tidak akan terbawa ke dalam nelangsanya sendiri?

Adegan awal pertama cukup menjelaskan latar belakang dari judul film. Lewat Djam Malam. Melalui papan besar yang tercatat di ujung jalan, dijelaskan adanya jam malam yang berlaku di Bandung. Pasca-kemerdekaan. Saya sudah dapat membayangkan bahwa film ini seterusnya akan menjelaskan bagaimana sulitnya menembus dimensi baru pasca-kemerdekaan. Yang dulunya perang fisik, kini menjadi perang melawan diri sendiri. Perang untuk mendapatkan kehidupan yang layak setelah habis-habisan mengusir penjajah di tanah air. Alur cerita berjalan seperti yang saya bayangkan. Iskandar, sebagai tokoh utama dari film ini digambarkan sebagai tentara yang baru saja kembali dari medan perang. Mencari rumah sang kekasih yang menunggunya dengan setia. Benar, ini cerita klasik.



Namun dalam adegan-adegan selanjutnya, Lewat Djam Malam secara frontal bertutur tentang bagaimana kehidupan setelah kemerdekaan adalah kehidupan yang tidak lebih baik daripada ketika jaman peperangan melawan penjajah. Tidak siapnya mantan tentara yang harus kembali kedalam kehidupan orang normal, rasa ‘saya adalah pahlawan’ yang malah mengkungkung diri sendiri adalah menjadi bagian utama dari film ini. Serta bagaimana kaum borjuis yang sedang berkembang di masa ini menikmati malam dengan dansa-dansi adalah suatu rekaman sejarah yang menarik.

Apalagi jika ditarik kembali kepada masanya, film ini adalah kritik yang luar biasa tajam kepada pemerintah bahwa pekerjaan rumah pasca-kemerdekaan sangat belum selesai. Dan bahkan berteriak, kehidupan tidak menjadi lebih baik dengan kemerdekaan. Untuk saya pribadi, tokoh Iskandar yang digambarkan sangat depresi dengan keadaannya yang tidak dapat beradaptasi dengan hidup yang normal setelah berperang, tidak seberapa menarik dibandingkan dengan tokoh Laila. Seorang pelacur yang juga depresi setelah suaminya pergi meninggalkannya. Laila adalah efek domino dari tidak adanya jaminan kehidupan yang lebih baik setelah kemerdekaan. Suaminya entah pergi kemana. Berulang kali dia mengatakan:
jika lelaki sudah keluar rumah, siapa yang tahu kapan dia kembali?
Kalimat ini bukan sebuah kemarahan. Bukan sebuah tuntutan. Hanya semacam pengingat bagi yang mendengarkan. Ungkapan tulus yang diungkapkan Laila. Berdasarkan pengalamannya sendiri. Laila berulang kali juga menyanyikan lagu yang sama, lagu bernada depresif yang menceritakan kekasihnya yang pergi meninggalkannya. Diceritakan juga Laila yang selalu menggunting gambar wanita dengan baju yang cantik, sepatu yang mengkilat, gelang dan kalung dengan warna yang memicingkan mata.

Hanya ini sumber kebahagiaan Laila, karena melalui gambar yang dikumpulkan, dia tahu apa yang harus dia jawab ketika nanti ada seorang pria yang bertanya kepadanya, apa yang dia inginkan. Dulu, ketika suaminya masih ada, dia tidak pernah dapat menjawab pertanyaan tersebut. Padahal berulangkali suaminya bertanya hal ini. Entah Laila sadar atau tidak, lelaki dengan pertanyaan tersebut mungkin tidak akan pernah lagi datang dalam hidupnya.

Tapi apa salahnya berharap ketika harapan adalah satu-satunya hal yang mendatangkan bahagia saat kehidupan terlalu sulit untuk dijalankan? Mungkin begitu tafsiran saya akan adanya tokoh Laila di film ini. Tokoh Laila pun menjembatani pengungkapan secara vulgar kehidupan masyarakat pada zaman itu. Satu adegan yang sangat mengesankan untuk saya adalah adegan dimana Puja, bekas bawahan Iskandar di medan perang yang kini menjadi centeng Laila, menghancurkan semua potongan gambar milik Laila. Laila tersedu melihat catatan harapannya menjadi serpihan. Iskandar yang melihatnya berteriak kepada Puja sembari membantu Laila membereskan potongan yang masih bisa diselamatkan
Mengapa kau hancurkan satu-satunya kebahagiaan wanita ini hanya karena kau sendiri tidak bahagia?
Kritik vulgar. Kehidupan pasca revolusi yang demikian mencekik sampai seseorang harus menghancurkan kebahagiaan orang lain agar mereka berada di tingkat yang sama. Lewat Djam Malam menyampaikannya dengan fasih. Tanpa banyak basa-basi. Ketika tokoh utama, Is, akhirnya mati karena ketidakmampuannya menyesuaikan diri dengan perang intelektual pasca-revolusi, bagi saya, Lewat Djam Malam secara mengesankan menggambarkan kehidupan yang sebenar-benarnya yang mungkin sering tidak mau diakui: terjebak dalam masa lalu dan berakhir mati.


PRAMIRTA SUDIRMAN

Dikutip atas seijin penulis.
Sumber: Skunk!

No comments:

Post a Comment